Advokat Dihambat Mekanisme Pengambilan Sumpah

Mahkamah Konstitusi (MK) sidangkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) dengan agenda mendengarkan keterangan Pemerintah, DPR, dan Saksi/Ahli Pemohon dan Pemerintah, Rabu (21/10), di ruang sidang pleno MK.

Perkara Nomor 101/PUU-VII/2009 ini dimohonkan oleh H.F. Abraham Amos, Djamhur, dan Rizki Hendra Yoserizal. Dalam sidang ini, hadir pula Pihak Terkait dari Kongres advokat Indonesia (KAI) yang diwakili kuasa hukumnya Eggy Sudjana dan Tommy Sihotang.

Tommy mengungkapkan bahwa Pasal 4 ayat (1) UU Advokat telah menghambat para kandidat advokat untuk melakukan profesinya sebagai penegak hukum terutama berkaitan dengan surat yang dikeluarkan Ketua Mahkamah Agung (MA) dengan Nomor 052/KMA/V/2009 tentang sikap MA terhadap organisasi advokat yang terbit tanggal 1 Mei 2009. “Dalam hal ini, MA sudah jauh melampaui kewenangannya. MA terkesan ikut campur terlalu dalam terhadap konflik organisasi advokat,” tegas Tommy.

Tommy menganggap telah terjadi perlakuan diskriminatif terhadap profesi advokat sebagai penegak hukum. “Advokat juga merupakan bagian caturwangsa dari penegak hukum sama seperti Polri dan Kejaksaan. Akan tetapi, Polri maupun kejaksaan tidak perlu melakukan sumpah ke pengadilan tinggi, tapi mengapa profesi kami sebagai advokat harus dihambat dengan pengambilan sumpah di pengadilan tinggi?” paparnya.

Hal senada juga diungkapkan Eggy Sudjana yang menyatakan bahwa fokus permasalahan bukanlah mengenai sumpah, tetapi tempat pengambilan sumpah. “Kenapa harus di pengadilan tinggi? Padahal sumpah advokat juga dapat diambil di depan organisasi advokat atau di depan rohaniwan. Sumpah itu tetap dapat dipertanggungjawabkan,” jelasnya.

Menanggapi pernyataan Pihak Terkait tersebut, Pemerintah yang diwakili oleh Direktur Litigasi Dephukham Qomaruddin menjelaskan bahwa seharusnya baik Pemohon maupun Pihak Terkait mengajukan gugatan umum ke pengadilan tinggi, bukan ke MK. “Fokus permasalahan Pemohon dan Pihak Terkait adalah surat MA Nomor 052/KMA/V/2009 tertanggal 1 Mei 2009, bukan mengenai konstitusionalitas Pasal 4 ayat (1) UU Advokat. Maka seharusnya mengajukan gugatan ke pengadilan tinggi,” ujarnya.

Pernyataan perwakilan Pemerintah itupun dibantah tegas oleh Eggy yang menganggap bahwa surat MA tersebut merupakan surat internal. “Surat itu merupakan surat internal antara MA dengan pengadilan tinggi. Kami bingung bagaimana cara mengajukan gugatan terhadap surat internal. Oleh karena itu kami ke MK,” tegasnya.

Anggota Pleno Hakim Muhammad Alim memberikan tanggapan yang menyatakan bahwa MK tidak mempunyai wewenang untuk menguji produk yang dihasilkan MA. “Kedudukan MK dengan MA sama sebagai lembaga kekuasaan kehakiman, maka MK tidak mungkin untuk menguji setiap produk yang dikeluarkan MA,” jelasnya. (Lulu A.)


source : http://www.mahkamahkonstitusi.go.id

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Sumpah Advokat Dianggap Inkonstitusional Akibat Terbitnya Surat MA

Sumpah yang harus diambil oleh kandidat advokat seperti yang tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) UU Advokat adalah konstitusional. Demikian keterangan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jhon Pieris ketika memberikan keterangan sebagai Ahli dari Pemohon dalam sidang perkara Nomor 101/PUU-VII/2009 tentang pengujian Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) yang digelar oleh Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (21/10), di ruang sidang pleno MK.

Akan tetapi ketika dihadapkan keadaan saat ini dengan adanya surat Mahkamah Agung (MA) Nomor 052/KMA/V/2009, menurut Jhon, maka keberadaan Pasal 4 ayat (1) menjadi inkonstitusional karena bertentangan dengan Pasal 28D UUD 1945.

Dengan keadaan saat ini, lanjut Jhon, pasal a quo merupakan perwujudan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terutama berkaitan dengan hak untuk bekerja seperti yang tercantum pada Pasal 28D ayat (2) UUD 1945. Menurut Jhon, beredarnya surat MA membuat setiap advokat harus menunjukkan berita acara pengambilan sumpah di Pengadilan Tinggi. “Hal ini menghambat para kandidat advokat sehingga tidak bisa bekerja. Bukankah ini melanggar HAM seperti yang dijamin dalam UUD 1945?” ujarnya.

Jhon berpendapat bahwa seharusnya tempat pengambilan sumpah tidak hanya terbatas di Pengadilan Tinggi. “Rohaniwan pun seharusnya bisa mengambil sumpah para kandidat advokat. Ini dibenarkan sepanjang memenuhi asas kebenaran dan kemanfaatan,” lanjutnya.

Lagipula, lanjut Jhon ketika surat MA keluar pada 1 Mei 2009, para kandidat advokat telah lebih dulu dilantik pada 27 April 2009. “Seharusnya Surat MA tertanggal 1 Mei 2009 tersebut bersifat prospektif, bukan retroaktif,” jelasnya.

Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar menjelaskan bahwa Pasal 4 ayat (1) tersebut tidak memiliki keterkaitan langsung dengan MA. “Ketika dibentuk, Pasal 4 ayat (1) tersebut tidak didelegasikan untuk MA, tetapi untuk pengadilan tinggi. Jadi, seharusnya MA tidak perlu ikut campur,” jelas Akil yang sempat terlibat dalam pembentukan UU Advokat ketika masih di DPR.

Pemohon mendalilkan bahwa dalam Pasal 2 ayat (3) UU Advokat menyebabkan advokat tidak serta merta bisa berpraktek atau beracara di pengadilan karena harus diambil sumpahnya terlebih dahulu oleh Ketua Pengadilan Tinggi di wilayah hukum masing-masing daerah di Indonesia. Hal ini sangat dikotomis dan kontradiktif dengan azas pendelegasian tugas, hak, dan wewenang pendidikan, pengangkatan, dan pelantikan advokat yang seutuhnya terberi kepada organisasi advokat. Pemohon juga meminta pembatalan Pasal 4 ayat (1) UU Advokat karena dengan terbitnya surat MA Nomor 052/KMA/V/2009, Pasal 4 ayat (1) UU Advokat menjadi inkonstitusional.

Dalam persidangan ini, Majelis Hakim Konstitusi mensahkan tujuh alat bukti milik Pemohon dan 17 alat bukti milik Pihak Terkait. (Lulu A.)

source : http://www.mahkamahkonstitusi.go.id

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS